Kisah Sebenarnya di Balik Pemotongan Nisan Salib di Yogyakarta yang Viral | Viral Blog | Berita Viral
loading...

Kisah Sebenarnya di Balik Pemotongan Nisan Salib di Yogyakarta yang Viral

Kisah Sebenarnya di Balik Pemotongan Nisan Salib di Yogyakarta yang Viral - Hallo PemirsaViral Blog | Berita Viral, Pada Artikel yang kalian baca kali ini dengan judul Kisah Sebenarnya di Balik Pemotongan Nisan Salib di Yogyakarta yang Viral, kita sudah siapkan artikel ini dan itu dengan baik untuk kalian baca dan ambil informasi didalamnya ya. mudah-mudahan isi postingan Artikel berita, Artikel trending topik, yang kita tulis ini dapat kalian mengerti ya,selamat membaca.

Judul : Kisah Sebenarnya di Balik Pemotongan Nisan Salib di Yogyakarta yang Viral
link : Kisah Sebenarnya di Balik Pemotongan Nisan Salib di Yogyakarta yang Viral

Baca juga


Kisah Sebenarnya di Balik Pemotongan Nisan Salib di Yogyakarta yang Viral

loading...

Beritaterheboh.com - Makam Albertus Slamet Sugiardi di pemakaman Jambon, RT 53 RW 13, Kelurahan Purbayan, Kotagede, Yogyakarta dipotong tanda salibnya dengan cara digergaji karena desakan warga kampung itu. Sehingga nisan itu tinggal membentuk huruf T.

Pengurus Gereja Santo Paulus Pringgolayan Kotagede Agustinus Sunarto menuturkan saat mendengar kabar jemaatnya meninggal pada Senin 17 Desember 2018, pihak keluarga menginginkan agar jenazah Albertus dikuburkan di komplek makam depan gereja itu.

Namun permintaan keluarga itu tak bisa dikabulkan karena almarhum bukan warga setempat. Sunarto berembug dengan Bedjo Mulyono, seorang tokoh masyarakat Purbayan.  Dari pembicaraan itu disetujui jasad Slamet dikubur di komplek makam Jambon RT 53 RW 13, Purbayan, Kotagede, tak jauh dari kediamaan almarhum.


“Sekitar pukul 13.00 ada kabar kalau lokasi makamnya almarhum tak boleh di tengah komplek makam, warga minta makam Slamet dipinggirkan. Saya jawab ‘oke, enggak masalah’,” ujar Sunarto.

Namun setelah itu Sunarto mengaku mendapat pesan pendek yang meminta agar saat pemakaman Slamet berlangsung tidak boleh ada doa dan upacara jenazah sesuai permintaan kampung. “Saya jawab juga, ‘enggak masalah tak ada doa dan upacara jenazah',” ujarnya.

Saat pemakaman Slamet usai dan keluarga menancapkan tanda salib di atas pusara, ada keberatan dari warga. Akhirnya nisan salib itu digergaji dan tinggal membentuk huruf T. Pihak gereja dan keluarga tak mempermasalahkan salib itu dipotong.

“Lalu saat malam hari keluarga akan menggelar doa arwah di rumah almarhum Slamet, ternyata dilarang juga oleh kampung. Akhirnya doanya dipindah ke Gereja Santo Paulus ini,” ujarnya.


Sunarto menuturkan, saat keluarga akan menggelar tirakatan untuk doa bersama di depan rumah itu, pihak kampung juga tidak bisa menyediakan perangkat seperti tenda, meja kursi dan lainnya. Alasannya karena saat itu sedang tidak ada yang bisa menyewakan perangkat untuk tirakatan doa. “Jadi akhirnya tidak ada tenda, meja, kursi untuk keluarga almarhum,” ujarnya.

Ketua RT 53 RW 13 Soleh Rahmad Hidayat menuturkan  warga memang tak membolehkan ada ibadat dan doa untuk jenazah Slamet di rumahnya. Soleh berdalih hal itu sudah menjadi permintaan warga.

Termasuk tak bolehnya ada simbol kristen di komplek pemakaman itu karena sudah menjadi permintaan warga yang ingin menjadikan komplek makam itu khusus muslim. “Kesepakatan (setuju kalau salib dipotong) itu awalnya tidak tertulis, lalu dibuat tertulis,” ujar Soleh.

Soleh mengatakan tak adanya simbol kritisani di makam itu sudah menjadi aturan tak tertulis dari warga. “Namanya sudah aturan kalau dilanggar nanti malah jadi konflik,” ujarnya.(Tempo.co)



Kasus Pemotongan Kayu Salib, Tidak Ada Penistaan Simbol Agama

Kasus pemaksaan penghilangan simbol salib saat pemakaman satu tokoh umat Katolik di Paroki Pringgolayan Bantul DIY, mendadak menjadi viral dan tersebar riuh di lini media sosial. Kedamaian kehidupan di Yogyakarta, dianggap kembali terkoyak. Namun, pengurus Gereja Santo Paulus Pringgolayan Romo Kristanto meminta umat Katolik tidak langusung percaya, bahwa ada penistaan simbol agama.

Keluarga mendiang P Slamet Sugihardi sudah lama bermukim di dekat areal pemakaman milik Desa, karena itu keluarga menghendaki pemakaman di tempat terdekat. Ahli waris menginginkan almarhum dimakamkan di pemakaman yang merupakan makan muslim.

Masyarakat Purbayan Kotagede tidak menolak, namun meminta agar keluarga tidak memakamkan almarhum dengan simbol agama di Tempat Pemakaman Umum milik Desa Jambon RT 53 RW 13 Kelurahan Purbayan, Kotagede Yogyakarta.

Dengan demikian, penanda makam, berbentuk tanda salib hanya membentuk seperti huruf ‘T’.

Bahkan menurut Simon Indra, sebagai petugas yang membawakan Salib, melalui pesan melalui whatsapp mengatakan bahwa dari awal dirinya sudah bertanya-tanya, apa boleh ada Salib di pemakaman muslim tersebut. Dan benar, ada seorang warga yang meminta lambang Salib tersebut dan Simon menyerahkannya.

"Tidak ada pemaksaan dan bahkan seluruh tetangga yang beragama muslim turut membantu proses pemakaman tersebut," ujar Simon.

Salah satu warga setempat, Mulyono, mengungkapkan, awalnya tidak ada persoalan. Namun entah mengapa, pemotongan Salib itu menjadi sorotan banyak pihak. Karena itulah, warga bersama sesepuh kampung, bersepakat dengan istri almarhum Slamet, yakni Maria Sutris Winarni, membuat surat pernyataan tertulis yang menyatakan bahwa pihak keluarga besar telah ikhlas untuk menghilangkan simbol Kristiani atas saran pengurus makam.

Kemudian, untuk sembahyangan, disepakati oleh umat Katolik karena almarhum adalah prodiakon, maka dilaksanakan di Gereje Pringgolayan, tempat almarhum selama ini mengabdikan diri.(Beritasatu.com)


Mengapa dimakamkan dipinggir?

Slamet menyebut kenapa makam diletakkan di pinggir agar nanti jika ada keluarga non muslim lainnya yang akan dimakamkan di Makam Jambon lokasinya bisa menjadi blok sendiri. Sehingga nantinya bisa diketahui di mana kompleks pemakaman untuk muslim dan kompleks pemakaman yang non muslim.

Slamet menjabarkan jika syarat dari warga tersebut pun disetujui oleh pihak keluarga. Keluarga, kata Slamet, setuju dan tak keberatan dengan syarat yang diajukan.

"Pihak keluarga sudah sepakat. Keluarga yang sudah terlanjur memesan nisan kayu berbentuk salib pun sudah setuju dengan syarat yang diajukan warga dan pengelola makam. Akhirnya, nisan kayu itu kemudian dipotong," ungkap Slamet.

Slamet menambahkan jika paska viral di medsos, kesepakatan lisan antara pihak keluarga, warga dan pengelola makam yang dilakukan sebelum pemakaman dilakukan kemudian dibuat menjadi kesepakatan tertulis.

Kesepakatan tertulis ini ditandatangani oleh Maria Sutris Winarni yang merupakan istri Albertus Slamet, dengan mengetahui dari perwakilan tokoh masyarakat yaitu Bedjo Mulyono, Ketua RT 53, Soleh Rahmad Hidayat dan Ketua RW 13, Slamet Riyadi.

Adapun isi suratnya adalah pihak keluarga telah menerima dengan ikhlas hati pemotongan papan nama Albertus Slamet Sugardi yang ada di makam Jambon untuk menghilangkan simbol Kristiani atas saran dari pengurus makam, tokoh masyarakat dan pengurus kampung. (Merdeka.com)



Begitu deh artikelnya Kisah Sebenarnya di Balik Pemotongan Nisan Salib di Yogyakarta yang Viral

sudah kamu baca sampai selesai. Kisah Sebenarnya di Balik Pemotongan Nisan Salib di Yogyakarta yang ViralNah kali ini, moga aja bisa ngasih manfaat untuk kalian semua ya. so, sampai jumpa di postingan artikel berikutnya.

Kamu sekarang membaca artikel Kisah Sebenarnya di Balik Pemotongan Nisan Salib di Yogyakarta yang Viral dengan alamat link https://goesviralblog.blogspot.com/2018/12/kisah-sebenarnya-di-balik-pemotongan.html
loading...

0 Response to "Kisah Sebenarnya di Balik Pemotongan Nisan Salib di Yogyakarta yang Viral"

Post a Comment

loading...

Viral Terupdate